novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

“Urusanmu?” buruku tak paham, sedetik kemudian kami sudah berada di dalam mobilnya dengan anakku meringkuk di jok belakang.

“Maksudku urusan kita, Darling… jangan takut, semuanya akan membuat dirimu puas, yakinlah!” sahutnya disertai kekehannya yang aneh. Aku berusaha keras membunuh rasa takut yang mulai membayangi setiap helaan napasku. Kulihat anakku sudah kelelahan dan tertidur lelap. Sungguh, dia anak yang manis, tenang, sama sekali tak pernah rewel. Itu bukan anakku yang biasanya periang, banyak bertanya dan berkomentar. Namun, aku tak bisa berpikir banyak lagi tentang perubahan sikap anakku. Benakku dipenuhi berbagai rencana, pengharapan dan kecemasan.

“Minumlah ini, Darling,” Gez menyodorkan botol minuman, baru kusadari ada boks minuman keras di antara kaki-kaki kami.

“Bolehkah nanti saja supaya tetap segar?” Mungkin dia mengartikannya lain, bahwa aku menjaga kesegaran selama mendampinginya,meladeninya. Ya Tuhan, bulu kudukku merinding mendengar tawanya yang terbahak-bahak, dan sorot matanya yang ceriwis liar. Namun, lagi lagi semuanya telah telanjur. Tahu-tahu kami sudah sampai di apartemennya di Hilversurn. Dalam sekejap kami pun telah berada di dalam ruangan yang segera dikunci dengan sigap oleh lelaki itu.

“Apaaa… mau apa kamu?!” seruku kaget saat Gez dengan gerakan tak terduga, tiba-tiba menodongkan pistol ke kepalaku.

“Sini, anak setan, siniiii!” Gez merenggut anakku dari tanganku, sedetik kemudian dia telah menyeret tubuh mungil kesayanganku itu ke dalam toilet, lalu menguncinya rapat-rapat.
Mataku melotot hebat dan tubuhku lunglai, sendi-sendi tulangku bagai berlepasan.Seketika aku merasa hanyalah seonggok daging yang tak bernyawa. Separuh jiwaku, belahan nyawaku telah direnggut dari dekapanku.

“Kamu diamlah! Jangan coba-coba melakukan tindakan bodoh. Kalau tidak, aku akan bunuh anak kesayanganmu itu!” ancamnya terdengar tidak main-main. Gez, sosok yang tampak gentle dalam video itu, telah berubah dalam sekejap.

“Kumohon, kumohon… demi Tuhan yang kamu sembah…” aku mulai meratap, memohon dengan segenap jiwaku. “Jangan sakiti anakku… Dia sama sekali tak berdosa.” Hancur hatiku mendengar tangisan anakku lamat-lamat dari dalam toilet, hingga tak terdengar lagi, mungkin kelelahan atau pingsan?

Gez terbahak-bahak, semakin gencar menenggak minuman keras, sedang tangannya yang satu lagi mulai liar menggerayangi tubuhku.

Baru kusadari koper, tas, perhiasan, uang, paspor, semua bawaanku dari Indonesia sudah diamankan oleh Gez.

Mengapa profilnya di video yang direkomendasi biro jodoh internasional itu tampak begitu simpatik, ganteng dan lembut? Belakangan baru kutahu bahwa semuanya memang telah direkayasa. Gez adalah seorang interniran militer, penipu, pemabuk dan… psikopat. Sejak saat itu, dia sering menghajar tubuhku hingga babak-belur.

Sejak saat itu pula, aku dipaksa melayani kebutuhan seksualnya secara biadab, kapan pun dan di mana pun. Bila aku menjerit karena menahan sakit, dia akan tertawa terbahak-bahak dan bertindak dengan lebih keji dan brutal!

Aku berusaha keras untuk tidak menjerit, menangis apalagi meratap-ratap, memohon belas kasihnya. Dalam ketakberdayaan sekalipun, aku sungguh ingin tetap memberontak. Beberapa kali aku mencoba membebaskan diri dari kungkungannya. Namun, sebanyak itu aku mencoba lolos, sebanyak itu pula aku dipergoki, kemudian tanpa ampun lagi dihajar habis-habisan.

Yang paling tidak tahan adalah kalau dia mengancam akan membunuh anakku, tidak memberi makan dan minum. Jika aku dibiarkan menemui anakku, kami berpelukan dan kutahan sedemikian rupa air mataku agar tidak tumpah. Kuperhatikan anakku sudah seperti robot, sepasang mata bintangnya yang cemerlang telah hilang, disilih oleh dua butir mutiara hitam yang kelam, dingin dan suwung…
Suatu malam aku menemukannya dalam keadaan mengenaskan, meringkuk di sudut kamar mandi, demam dan menggigil. Daya tahan tubuhnya anjlok drastis, tubuhnya seakan-akan menciut. Selain kelaparan niscaya mentalnya pun tak tahan lagi harus sering dijauhkan dari ibunya.

“Nak, Anakku… aduuuh, demi Tuhan!” jerit tangisku kini tak terbendung lagi. Aku sungguh panik, dan merasa sangat berdosa karena tak mampu melindunginya.

“Bangunlah, Nak, bangunlah! Jangan tinggalkan Mama sekarang, jangaaan…” ratapku histeris, tak peduli lagi akan angkara Gez yang melongok di belakang tubuhku. Melihat keadaan gawat begitu agaknya Laki-laki itu tergerak juga hatinya. Pasti dia hanya menakutkan dampak terhadap keselamatannya sendiri.

“Diamlah, perempuan dungu! Kamu jangan berteriak-teriak terus!” sergahnya, diangkutnya sosok mungil kesayanganku, kemudian ditaruhnya di ruangan lain apartemen itu. Sejak malam itu anakku diperbolehkan menempati ruangan yang layak huni, meskipun kemungkinan cuma gudang, sebab banyak barang. Hatiku agak lega, setidaknya anakku berangsur membaik dan tidak selamanya dikurung di kamar mandi. Kami berdua diperbolehkan bersama kem bali. Pada saat-saat Gez ‘membutuhkanku’, terpaksa kuberi pengertian anakku.
“Peter, Cinta, jangan berteriak-teriak, jangan nangis selama Mama pergi, ya? Kalau kamu lakukan itu kita akan dipisahkan lagi,” bisikku sambil menahan bendungan air mata yang nyaris tak tertahankan. Kubelai wajahnya, ooh, baru kusadari tampak tirus. Tubuhnya pun tidak lagi gemuk, pipi-pipinya yang tembam… ke mana gerangan?

“Iya… aku gak akan nangis, Mama. Gak akan jerit-jerit, Mama. Asalkan Mama ke sini lagi, hati-hati, ya Mama…

Dia mengiyakanku sambil berlinangan air mata, di tahu, dan tak mau mengungkitnya di kemudian hari; apakah selama ibunya ini diperlakukan keji, anak yang malang itu tetap tinggal di tempatnya? Ataukah dia diam-diam mengintip?

“Ya Tuhan, jangan tinggalkan kami, kumohon, jangan tinggalkan kami,” jeritku mengawang nun kelapisan ketujuh. Apabila laki-laki itu meninggalkan rumah, kami akan dikunci dari luar. Tiada televisi, tiada telepon, bahkan aliran listrik pun akan dimatikan. Makanan yang diberikan alakadarnya; sepotong roti keras, semangkuk sup krim dingin dan segelas susu tawar.

Adakalanya aku diperbolehkan memunguti remah-remah roti atau pizza bekas makanannya.

“Aku masih lapar, Mama,” pinta anakku takut-takut, mengerling secuil roti yang baru saja akan kumasukkan ke mulutku.

“Ya, tentu saja… ini boleh buatmu, Cinta,” segera kusuapkan roti jatahku itu ke mulutnya. Tangisku pecah jauh di dalam dada melihat hasrat dan kelahapan anakku.

Secuil roti yang hanya pantas buat mainan tikus dan kecoa saat di Tanah Air. Namun, lihatlah, Tuhan! Hari-hari ini begitu dibutuhkan anakku sebagai pengganjal perutnya.

Entah bagaimana reaksi kakek-neneknya jika mengetahui hal ini.
Adakalanya otakku berputar-putar dengan berbagai kemungkinan, berbagai macam hal. Apakah ayahnya masih peduli akan keberadaan kami, terutama anakku? Masihkah dia bernafsu untuk menculik dan menguasai anaknya?

Mengapa aku begitu panik menghadapi ancaman-ancamannya? Bagaimana kalau itu hanya omong kosong belaka? Bukankah sejak bercerai, dia tak peduli lagi, terbukti kewajibannya (janji hitam di atas putih, disaksikan pejabat KUA) untuk membiayai anaknya pun telah diabaikan. Tak pernah memberi biaya sepeser pun lagi sejak palu hakim diketukkan. Pikiran-pikiran itu acapkali sangat menyiksa diriku, membuatku tak bisa memejamkan mata sekejap pun. Sungguh, rasanya aku nyaris menjadi gila!

Namun, segera aku disadarkan akan realita yang tengah kuhadapi. Aku tak boleh menyerah,tak boleh membiarkan diriku stress, frustasi. Aku harus menjaga otakku tetap sehat, waras, sebab dibutuhkan untuk mengatur strategi agar bisa keluar dari situasi buruk ini, melawan Gez!

–o0o–

Setelah dua pekan dikurung di dalam apartemen sumpek itu, akhirnya Gez mengajak kami ke luar rumah. Kami diperkenalkan kepada beberapa kenalannya. Gez berlagak gentle membiarkanku bersosialisasi. Dia wara-wiri di antara teman-temannya sambil menikmati makanan dan minuman yang terhidang. Sikapnya berlagak penuh kasih sayang terhadap anakku.